GADIS
KECIL YANG MALANG
Beberapa hari belakangan ini, cuaca sukar diprediksi. Hujan tiba
– tiba sering turun dengan lebatnya, bahkan disertai angin kencang dan petir
bersahutan. Pulang sekolah, aku harus dua kali naik kendaraan umum. Kalau Mas
Sam mengabarkan akan menjemputku hari ini, aku tentu senang sekali. Kalau
tidak, aku tentunya pulang sendiri, berebut mengejar angkot hingga malam tiba. Dan hari ini, aku benar – benar tidak mungkin
mengharapkan Mas Sam segera hadir menjemputku dengan mobilnya. Baru saja dia
sms, “ Mas kejebak macet jemput mama di Tanah Abang “.
Harapanku ini, hujan yang tiba – tiba turun segera berhenti.
Paling tidak, setelah aku sampai didepan rumahku sudah reda. Saat mikrolet yang
kutumpangi berhenti diseberang jalan rumahku, senja yang gelap sudah berganti
malam dan hujan belum berhenti juga. Aku terpaksa berlari dan berteduh dihalte
untuk sementara. Beberapa pengerndara sepeda motor sudah banyak memenuhi halte.
Jaket dan pakaian mereka basah kuyup. Seorang bapak tua sedang melindungi isi
gerobak barang – barang rongsokannya dengan plastik. Ada juga seorang anak
lelaki yang termenung karena sebagian koran jualannya basah dan belum terjual.
Beberapa ibu dan anak – anak sekolah asyik makan gorengan sambil ngerumpi
tertawa cekikikan.
Puas menatap orang – orang disekelilingku ditengah terpaan
cahaya lampu – lampu kendaraan yang lewat, sesosok gadis kecil tampak
menyeberang jalan menuju halte tempatku berteduh. Ditangannya ada sebuah payung
yang tidak terlalu besar. Baju gadis kecil itu sudah basah kuyup ketika dia
tiba dihalte. Wajah imutnya mengingatkanku pada sahabat yang paling setia dan
aku sayang. Beberapa orang anak sekolah dan ibu – ibu segera menyerbu gadis
kecil itu. Tapi ketika gadis kecil itu melihat kearahku, dia cepat
menghampiriku, sepertinya dia sudah mengenalku sebelumnya. Dia hanya menawarkan
payungnya untukku.
“ Silahkan kakak pakai saja payungku untuk pulang ”, kata gadis
tersebut. Karena gadis tersebut hanya mekakakwa satu payung saja, akupun
menjawab serta menolaknya dengan baik “ terima kasih de, ade lebih
membutuhkannya daripada kakak “. Gadis imut itupun terus mendesakku agar aku
menggunakan payungnya untuk pulang. Tanpa berfikir panjang lebar, aku
mengusulkan kalau aku dan gadis kecil itu bersama – sama memakai payungnya
untuk menyeberang jalan.
Ketika aku sudah ada dipinggir jalan, tiba – tiba Mas Sam sms
aku, “ de, kamu udah sampai rumah belum, kalau belum, kamu sekarang ada dimana,
Mas Sam ingin jemput kamu “. Denag senang hati, aku langsung mebalas sms dari
Mas Sam, “ aku berada didepan halte dekat terminal “. Dengan baik dan setianya,
gadis kecil itu menemaniku sampai Mas Sam menjemputku. Aku dan gadis kecil itu
saling bercerita yang lucu – lucu, dan akhirnya Mas Sam menjemputku. Akupun
mengucapkan terimakasih atas bantuannya. Gadis kecil itupun tersenyum. Ketika
ditengah perjalanan pulang, aku baru ingat bahwa aku lupa menanyakan nama gadis
kecil itu.
Keesokan harinya, ditempat yang sama, aku bertemu dengan gadis
itu lagi. Gadis kecil itu sedang duduk dihalte dengan raut wajah yang begitu
sedih. Aku menghampirinya dan bertanya, “ ade mengapa bersedih ? cerita saja
sama kakak, mungkin kakak bisa bantu “.
Gadis kecil itupun menceritakannya sambil meneteskan air mata. Dia bercerita
tentang kakaknya yang sedang menderita penyakit kanker otak yang diderita selama
beberapa tahun. Orang tua gadis kecil itu sudah meninggal dalam kecelakaan
pesawat beberapa tahun yang lalu, saudara – saudaranya pun sudah tak punya.
Tiba – tiba aku teringat dengan sahabatku yang menderita penyakit kanker juga.
Namun ketika orangtuanya mekakakwa sahabatku pergi keluar negeri
untuk melakukan pengobatan, aku sudah tidak pernah mendengar kabarnya lagi.
Ketika aku sedang melamun, tiba – tiba gadis kecil itu membuyarkan lamunanku “
Kak...Kak...mengapa kakak melamun?”. “ maaf de, kakak teringat sama sahabat
kakak “ jelasku untuknya. Tanpa berfikir panjang lebar, aku memutuskan untuk
kerumah gadis kecil itu. Sebelumnya aku menanyakan namanya, dan alangkah
terkejutnya, ternyata nama gadis kecil itu Manda, sama sekali dengan nama adik
sahabatku.
Aku segera dipertemukan dengan kakak dari gadis kecil itu, dan
betapa terkejutnya aku, ternyata rumah gadis kecil itu hanya berdinding dari
anyaman banbu saja. Ketika aku bertemu dengan kakaknya, betapa terkejutnya aku,
ternyata dia benar – benar sahabat aku yang bernama Chintya. Aku dan Chintya
saling berpelukan melepas kerinduan yang terpendam. Ketika aku dan Chintya sedang
berpelukan, tiba – tiba penyakit dia kambuh. Aku panik karena Chintya menjerit
kesakitan dan Manda mencari obat untuk kakaknya, dan ternyata obatnya habis.
Aku segera menghubungi Mas Sam untuk menjemputku dibawah jembatan dekat
terminal agar bisa segera membawa Chintya kerumah sakit.
Beberapa menitpun berlalu, Mas Sam datang. Aku dan Manda segera
membawa Chintya kerumah sakit terdekat. Diperjalanan menuju rumah sakit,
Chintya berkata sambil menahan sakit “ Lia, apa kamu mau berjanji sama aku?”. “
Janji apa tya?” jawab aku sambil memegang telapak tangannya. Sambil memegang
erat tanganku, dia berkata, “ kamu harus berjanji, bahwa kamu harus menjaga
adik aku baik – baik serta menganggapnya seperti adik kamu sendiri “. “ iya
Tya, aku janji akan menjaga adik kamu dan berusaha menyembuhkanmu, kamu harus
bertahan demi adik kamu “, jawab aku sambil meneteskan air mata.
Setibanya dirumah sakit, Chintya segera dibawa keruang Unit
Gawat Darurat oleh perawat. Menit telah berubah menjadi jam, kami menunggu
kabar dari dokter, orangtua akupun yang telah dikabari oleh Mas Sam sudah tiba
dirumah sakit. Ketika waktu menunjukkan pukul 20.33 WIB, dokterpun keluar dan mengabarkan,
“ maaf, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain “. “ Maksud dokter
apa? Kak Tya baik – baik aja kan dok?” tanya Manda sambil menangis. Dokter
menjelaskan dengan tenang kepada Manda, “ maaf, kakak kamu tidak bisa tertolong
lagi”. Manda menjerit rasa tak percaya dan seketika tidak sadarkan diri.
Pihak rumah sakit memandikan serta merapihkannya jenazah Chintya,
dan segera dibawa pulang kerumah. Orangtuaku segera mengabarkan pihak rumah
agar mempersiapkan segala sesuatunya untuk proses pemakaman serta pengajian.
Dalam perjalanan pulang, Manda terus menerus menangis dipundakku dengan rasa
tak percaya. Ketika sampai dirumah, Manda mengaji didepan jenazahnya Chintya.
Setelah proses pemakaman selesai, Manda belum mau beranjak dari makamnya
Chintya, dia berulang – ulang kali menciumi batu lisan kakaknya.
Setibanya dirumah, aku, Mas Sam, serta kedua orangtuaku
membicarakan tentang pengadopsian Manda. Manda pun setuju bila dia diadopsi
oleh keluargaku, karena memang orangtuaku dengan orangtuanya Manda sudah
menjalin persahabatan semenjak mereka sama – sama mulai usahanya dari nol.
Orangtuaku menyerahkan semuanya kepada pengacara keluarga. Seminggupun berlalu,
Manda sudah mulai melanjutkan sekolahnya kembali, yang dulu pernah tertunda
sebab dia harus mencari biaya untuk membeli obat Chintya. Manda sudah mulai
mengikhlaskan dan dia mulai membuka lembaran baru bersama keluarga barunya. Dan
kini Manda, aku, serta keluargaku hidup bahagia...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar